Pages

Search This Blog

Paper Teori Jean Baudrillard BUDAYA MASYARAKAT E-COMMERCE BAB III

Selasa, 08 September 2015

Contoh paper teori Jean Baudrillard Judul:
PERUBAHAN SOSIAL TERHADAP BUDAYA MASYARAKAT E-COMMERCE

BAB III
PEMBAHASAN
3.1       Analisis Pembahasan
Dalam hal ini pergeseran masyarakat pada budaya transaksi online merupakan salah satu pengaruh sinifikan karena adanya fasilitas e-commerce itu sendiri. Perniagaan, penjualan, pembelian, pemasaran, dan pendistribusian online sekarang menjadi budaya baru pada masyarakat.
Berdasarkan data dari Menkominfo, menyebutkan bahwa nilai transaksi e-commerce pada tahun 2013 mencapai angka Rp130 triliun. Ini merupakan angka yang sangat fantastis mengingat bahwa hanya sekitar 7% dari pengguna internet di Indonesia yang pernah belanja secara online, ini berdasarkan data dari McKinsey. Dibandingkan dengan China yang sudah mencapai 30%, Indonesia memang masih tertinggal jauh, tapi perlu anda ingat bahwa jumlah ini akan terus naik seiring dengan bertumbuhnya penggunaan smartphone, penetrasi internet di Indonesia, penggunaan kartu debit dan kredit, dan tingkat kepercayaan konsumen untuk berbelanja secara online. Jika kita melihat Indonesia sebagai Negara kepulauan yang sangat luas, e-commerce adalah pasar yang berpotensi tumbuh sangat besar di Indonesia.
Pada tahun 2012, suatu perusahaan e-commerce di Indonesia mencatat bahwa 41% penjualan mereka berasal dari Jakarta. Data dari lembaga riset ICD memprediksi bahwa pasar e-commerce di Indonesia akan tumbuh 42% dari tahun 2012-2015. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan negara lain seperti Malaysia (14%), Thailand (22%), dan Filipina (28%).
Menurut mehat saya, kehadiran e-commerce memberikan perubahan sosial yang signifikan terlebih dalam aspek ekonomi. Masyarakat dapat memanfaatkan situs e-commerce dengan lahan bisnis baru dan juga menstimuli masyarakat untuk lebih konsumtif karena kehadiran e-commerce memudahkan untuk jual beli ataupun mengkonsumsi barang tanpa batasa ruang dan waktu. Jika dalam transaksi pasar konvensional mengharuskan pertemuan fisik dan keterbatasan waktu namun, untuk e-commerce menghadirkan cara dalam berbelanja kapanpun dan dimanapun. Untuk itu salah satu dampak dari kehadiran e-commerce adalah budaya berbelanja sehingga menstimuli masyarakat untuk lebih konsumtif karena kemudahan akses dalam berbelanja. Berdasarkan informasi dari Heppy Tranggono, Ketua Indonesian Islamic Business Forum (IIBF) di salah satu media Solo, CyberNews. Bahwa Masyarakat Indonesia dinilai sangat konsumtif. Terbukti bahwa saat ini, Indonesia menduduki peringkat ke dua sebagai negara paling konsumtif di dunia. Sementara di peringkat pertama adalah Singapura. Ironisnya, banyak orang Indonesia yang menghabiskan uangnya dengan berbelanja di Singapura. Hal itu diungkapkan Heppy Tranggono, Ketua Indonesian Islamic Business Forum (IIBF) saat berbicara dalam sosialisasi "Gerakan Beli Indonesia" dan rencana "Kongres Kebangkitan Ekonomi Indonesia" di Hotel Riyadi Palace, Senin (2/5) malam lalu.
"Indonesia negara konsumtif, juga bisa dilihat dari nilai transaksi kartu kredit yang mencapai 250 triliun setahun. Padahal anggaran negara kita hanya 1.200 triliun. Tapi ini fakta," tandasnya. Negara ini juga kalah nilai ekspornya dibanding Singapura. Pada 2009, nilai ekspor Indonesia 11,5 miliar dollar Amerika. Tahun 2010, naik menjadi 14,5 miliar dolar Amerika.Tapi itu tidak ada separonya dibanding nilai ekspor Singapura. Indonesia tidak bisa bersaing dengan Singapura yang hanya negara kecil," tuturnya prihatin.
Menurut Heppy penyebabnya adalah mentalitas bangsa. Karena masyarakat Indonesia yang menjadi pengusaha hanya segelintir dari sekian juta rakyat. Persentasenya hanya 0,18 persen. "Sementara di Singapura, jumlahnya enam persen. Bicara entrepreneurship, di Indonesia masih rendah. Perekonomian Indonesia terpuruk, juga disebabkan negara ini tidak berdaulat pada kehidupan perdagangannya sendiri. Pasar dalam negeri dibanjiri produk-produk asing dan masyarakat lebih tertarik membeli produk luar negeri dibanding produk buatan dalam negeri.
Dalam hal ini saya menilai bahwa kehadiran e-commerce, mampu mengubah cara pandang masyarakat terhadap suatu barang yang di konsumsi. Pembelian suatu produk bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan, melainkan karena keinginan , dimana use value (nilai guna) berubah menjadi exchange value (nilai tukar). Orang lebih mau membeli televisi dari pada buku, atau membeli produk yang tidak terlalu bermanfaat karena adanya potongan harga. Mereka lebih memilih membeli berbagai peralatan rumah tangga dari pada mendapatkan pengetahuan pendidikan. Beberapa orang dengan kelas ekonomi yang cukup berada, terutama dikota besar, mall sudah menjadi rumah kedua. Mereka membeli produk tidak lagi karena memang membutuhkan, tetapi dilakukan dengan alasan-alasan lain seperti mengikuti mode yang sedang beredar, hanya ingin mencoba produk baru, ingin memperoleh pengakuan sosial dll.
Dengan perkembangan teknologi informasi ini jaringan komunikasi pada dunia virtual kian memfasilitasi dengan adanya e-commerce ini masyarakat bertransaksi secara online tidak lagi harus secara konvensional. Menurut Adji Gunawan, Associate Partner dan Technology Competency Group Head Andersen Consulting, secara umum ada tiga tahapan menuju e-commerce, yakni: presence (kehadiran), interaktivitas dan transaksi.
Posisi komunikasi pada kajian ini adalah bahwa ada tiga tahapan dalam menghadirkan budaya pada transaksi e-commerce. Pertama, presence atau kehadiran merupakan asprek krusial ketika berlangsungnya transaksi secara e-commerce yakni menghadirkan penjual dan pembeli dalam dunia virtual atau belanja secara online meskipun terbatas pada pertemuan fisik. Kedua, interkativitas. Artinya aktifitas yang terhubung dalam beberapa tahapan. Berawal dalam pemesanan barang memanfaatkan situs jearing sosial lalu mentransfer dana sesuai pemesanan dan penjual mengirimkan barang yang dipesan lalu pembeli atau pemesan mengkonfirmasi kembali ketika barang sudah sampai di tangan. Tentunya hal itu, tredapat beberapa proses komunikasi ketika melakukan transaksi secara online. Ketiga transaksi,  dalam berlangsungnya proses komunikasi. 

3.2 Analisis Kasus dalam pendekatan Baudrillard
 
Konsep Baudrillard mengenai simulasi adalah tentang penciptaan kenyataan melalui model konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan “mitos” yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Model ini menjadi faktor penentu pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia ditayangkan melalui berbagai media dengan model-model yang ideal, disinilah batas antara simulasi dan kenyataan menjadi tercampur aduk sehingga menciptakan hyperreality dimana yang nyata dan yang tidak nyata menjadi tidak jelas.

Keadaan dari hiperrealitas ini membuat masyarakat modern ini menjadi berlebihan dalam pola mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya. Kebanyakan dari masyarakat ini mengkonsumsi bukan karena kebutuhan ekonominya melainkan karena pengaruh model-model dari simulasi yang menyebabkan gaya hidup masyarakat menjadi berbeda.

Media membuat masyarakat jauh dari kenyataan. Masyarakat secara tidak sadar terpengaruh oleh simulasi dan tanda (simulacra) yang ada di tengah kehidupan kita seperi pada kehadiran e-commerce telah menggeser pada era digital sehingga menstimuli khalayak untuk lebih konsumtif. Konsumsi yang digunakan bukan lagi pada tahapan use value tapi bergeser pada exchange value.

Dalam hal ini menurut analisis saya fenomena yang terjadi melihat pada pendekatan konsep Jean Baudrillard masyarakat lebih digiring pada simulasi-simulasi yang dibentuk oleh media dalam hal ini e-commerce sebagai media alternatif untuk kemudian konsumsilah yang menjadi inti ekonomi. Bukan pada produksi.

Manusia lebih memilih untuk mengkonsumsi tanda daripada melihat kegunaan objek itu sendiri. Contoh: ada faktanya sebagian orang, ketika kita berbelanja online, maka keinginan memiliki dan brand menjadi prioritas. Karena ketika dia sudah memiliki, maka dia mengkonsumsi bukan secara verbal atau fungsi tapi secara simbol. Simbol yang secara implisit eksotis, kharismatik, modern, dll




Perilaku konsumtif sendiri didefinisikan oleh Solomon (2002:453) sebagai sebuah studi tentang proses yang menghubungkan individu atau grup yang terpilih terhadap pembelian, penggunaan produk, ide, atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan hasrat.

Dalam hal ini dimesi komunikasi yang terdapat pada kehadiran e-commerce ini sendiri telah mengubah membawa pada budaya masyarakat yang dapat bertransaksi secara online. Menurut Adji Gunawan, secara umum ada tiga tahapan menuju e-commerce, yakni: presence (kehadiran), interaktivitas dan transaksi.


Sebuah gejala yang tengah mewabah dalam situs kultural mayarakat dewasa ini adalah fenomena kelahiran tren-tren baru. Masyarakat terobsesi untukmenghadirkan tren-tren revolusioner dalam menanggapi gejolak perubahan jaman. Fenomena ini hakikatnya merupakan implementasi dari dinamika kebudayaan bersifat terbuka untuk mengalami perubahan.


Lanjut ke BAB IV


http://www.acommerce.co.id/tag/ecommerce/ diakses pada tanggal 22 Mei 2015
http://startupbisnis.com/data-statistik-mengenai-pertumbuhan-pangsa-pasar-e-commerce-di-indonesia-saat-ini/ diakses pada tanggal 20 Mei 2015
Lechte, John, 50 Filusuf Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hal. 24
Lihat Selengkapnya

Paper Teori Jean Baudrillard BUDAYA MASYARAKAT E-COMMERCE Bab II



Contoh paper teori Jean Baudrillard Judul:
PERUBAHAN SOSIAL TERHADAP BUDAYA MASYARAKAT E-COMMERCE

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Perubahan Sosial

Perubahan sosial merupakan gejala yang selalu ditemukan di setiap masyarakat. Dikatakan gejala karena dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat yang bisa menimbulkan ketidaksesuaian antara unsur-unsur sosial yang ada di dalam masyarakat tersebut, sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang tidak sesuai fungsinya dan berdampak bagi nilai dan norma masyarakat yang bersangkutan.

Menurut Selo Soemardjan, perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola prilaku diantara kelompok dalam masyarakat menurutnya, antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan memiliki satu aspek yang sama yaitu keduanya bersangkut paut dengan suatu penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan cara masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Selain itu Perubahan sosial dikatakan tidak dapat dilepaskan dari perubahan kebudayaan karena kebudayaan merupakan hasil dari adanya masyarakat, sehingga tidak akan adanya kebudayaan apabila tidak ada masyarakat yang mendukungnya dan tidak ada satupun masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan.
Perubahan sosial itu bersifat umum meliputi perubahan berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat, sampai pada pergeseran persebaran umur, tingkat pendidikan dan hubungan antar warga. Dari perubahan aspek-aspek tersebut terjadi perubahan struktur masyarakat serta hubungan sosial. Jadi perubahan sosial juga dapat diartikan sebagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau dalam hubungan interaksi, yang meliputi berbagai aspek kehidupan. Sebagai akibat adanya dinamika anggota masyarakat dan yang telah didukung oleh sebagian besar anggota masyarakat.

2.2 Konsep Simulasi, Simulacra dan Hiperrealitas Menurut J. Baudrillard

Hiperrealitas adalah konsep yang dikemukakan oleh Jean Baudrillard, sebuah konsep dimana realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan tanda-tanda yang melampaui realitas aslinya (Hyper-sign). Hiperrealitas menciptakan suatu kondisi dimana kepalsuan bersatu dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Hiperrealitas menghadirkan model-model kenyataan sebagai sebuah simulasi bagi penikmatnya (simulacrum). Simulasi adalah suatu proses dimana representasi (gambaran) atas dasar tanda-tanda realitas (sign of reality), dimana tanda-tanda tersebut justru menggantikan objek itu sendiri, dimana representasi itu menjadi hal yang lebih penting dibandingkan objek tersebut.

Simulasi hadir bukan untuk melukiskan realitas yang direpresentasikannya, tetapi mereka hadir hanya untuk mengacu pada dirinya sendiri & melampaui realitas aslinya. Dalam penjelasannya, seperti pada kondisi masyarakat saat ini, media mempunyai suatu peranan penting dalam penyebaran realitas, dimana penyebaran tersebut akan diserap oleh konsumen media (masyarakat). Kemudian masyarakat tersebut menerima informasi dan setelah itu menyerapnya. Hal ini membuat masyarakat menganggap bahwa informasi tersebut sebagai suatu kebenaran, yang padahal informasi tersebut hanyalah sebuah realitas semu. Dari titik ini, J. Baudrillard menggunakan istilah simulacrum yang merupakan cara pemenuhan kebutuhan masyarakat kontemporer akan sebuah tanda, yang pada artinya suatu realitas itu sengaja diciptakan untuk menggambarkan suatu realitas, akan tetapi realitas yang sesungguhnya mungkin tidak ada, dimana objek realitas itu sudah tidak berfungsi lagi sebagai tanda, sehingga dapat dikatakan bahwa realitas palsu itu dianggap sebagai realitas yang sesungguhnya karena mayarakat saat ini telah hidup di era postmodern, bukan lagi era modernitas, dan ini ditandai dengan adanya beragam simulasi.

Proses simulasi ini mengarah pada simulacra. Simulacra adalah ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung. Merujuk pada teori Baudrillard, terdapat tiga tingkatan simulacra: Pertama, simulacra yang berlangsung semenjak era Renaisans hingga permulaan Revolusi Industri. Simulacra pada tingkatan ini merupakan representasi dari relasi alamiah berbagai unsur kehidupan. Kedua, simulacra yang berlangsung seiring dengan perkembangan era industrialisasi. Pada tingkatan ini, telah terjadi pergeseran mekanisme representasi akibat dampak negatif industrialisasi. Ketiga, simulacra yang lahir sebagai konsekuensi berkembangnya ilmu dan teknologi informasi.

Dalam wacana simulasi, manusia mendiami ruang realitas, dimana perbedaan antara yang nyata dan yang semu, yang asli dan yang palsu sangat tipis. Dunia-dunia buatan semacam Disneyland, Universal Studio, China Town, Las Vegas atau Beverlly Hills, yang menjadi model realitas-semu Amerika adalah representasi paling tepat untuk menggambarkan keadaan ini.

Kesatuan inilah yang disebut Baudrillard sebagai simulacra atau simulacrum, sebuah dunia yang terbangun dari sengkarut nilai, fakta, tanda, citra dan kode. Proses simulasi ini kemudian mendorong lahirnya term ‘hiperrealitas’, di mana tidak ada lagi yang lebih realistis sebab yang nyata tidak lagi menjadi rujukan. Baudrillard memandang era simulasi dan hiperrealitas sebagai bagian dari rangkaian fase citraan yang berturut-turut: Pertama, citraan adalah refleksi dasar realitas. Kedua, ia menutupi dan menyelewengkan dasar realitas. Ketiga, ia menutupi ketidakadaan realitas. Keempat, ia melahirkan ketidakberhubungan pada berbagai realitas apapun, ia adalah kemurnian simulakrum itu sendiri.

2.3 Perkembangan E-commerce di Indonesia

E-commerce atau disebut juga perdagangan elektronik merupakan aktivitas yang berkaitan dengan pembelian, penjualan, pemasaran barang ataupun jasa dengan memanfaatkan sistem elektronik seperti internet atau jaringan komputer.

E-commerce melibatkan aktivitas yang berhubungan dengan proses transaksi elektronik seperti transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem pengelolaan data inventori yang dilakukan dengan sistem komputer ataupun jaringan komputer dan lain sebagainya. Dalam teknologi informasi e-commerce dapat dikategorikan sebagai dari e-business dimana e-business memiliki cakupan yang lebih luas dari segi aktivitas ataupun jenis-jenis kegiatan yang dilakukannya.
Perkembangan e-commerce di Indonesia sendiri telah ada sejak tahun 1996, dengan berdirinya Dyviacom Intrabumi atau D-Net (www.dnet.net.id) sebagai perintis transaksi online. Wahana transaksi berupa mall online yang disebut D-Mall (diakses lewat D-Net) ini telah menampung sekitar 33 toko online/merchant. Produk yang dijual bermacam-macam, mulai dari makanan, aksesori, pakaian, produk perkantoran sampai furniture. Selain itu, berdiri pula http://www.ecommerce-indonesia.com/, tempat penjualan online berbasis internet yang memiliki fasilitas lengkap seperti adanya bagian depan toko (store front) dan shopping cart (keranjang belanja). Selain itu, ada juga Commerce Net Indonesia - yang beralamat di http://isp.commerce.net.id/. Sebagai Commerce Service Provider (CSP) pertama di Indonesia, Commerce Net Indonesia menawarkan kemudahan dalam melakukan jual beli di internet. Commerce Net Indonesia sendiri telah bekerjasama dengan lembaga-lembaga yang membutuhkan e-commerce, untuk melayani konsumen seperti PT Telkom dan Bank International Indonesia. Selain itu, terdapat pula tujuh situs yang menjadi anggota Commerce Net Indonesia, yaitu Plasa.com, Interactive Mall 2000, Officeland, KompasCyber Media, Mizan Online Telecommunication Mall dan Trikomsel.

Kehadiran e-commerce sebagai media transaksi baru ini tentunya menguntungkan banyak pihak, baik pihak konsumen, maupun pihak produsen dan penjual (retailer). Dengan menggunakan internet, proses perniagaan dapat dilakukan dengan menghemat biaya dan waktu.

Perkembangan e-commerce di Indonesia pada tahun-tahun mendatang. E-commerce sebetulnya dapat menjadi suatu bisnis yang menjanjikan di Indonesia. Hal ini tak lepas dari potensi berupa jumlah masyarakat yang besar dan adanya jarak fisik yang jauh sehingga e-commerce dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Sayangnya, daya beli masyarakat yang masih rendah dan infrastruktur telekomunikasi yang tidak merata di daerah-daerah lainnya membuat e-commerce tidak begitu populer. Hal ini tak lepas dari jumlah pengguna internet di Indonesia yang hanya sekitar 8 juta orang dari 215 juta penduduk. Selain itu, e-commerce juga belum banyak dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia.

Meskipun relatif banyak perusahaan yang sudah memasang homepage, hanya sedikit yang memfungsikannya sebagai sarana perniagaan atau perdagangan online. Sebagian besar homepage itu lebih difungsikan sebagai media informasi dan pengenalan produk. Menurut Adji Gunawan, Associate Partner dan Technology Competency Group Head Andersen Consulting, secara umum ada tiga tahapan menuju e-commerce, yakni: presence (kehadiran), interaktivitas dan transaksi.

Saat ini, kebanyakan homepage yang dimiliki perusahaan Indonesia hanya mencapai tahap presence, belum pada tahap transaksi. Pada akhirnya, perkembangan teknologi dan peningkatan pengguna internet di Indonesia akan membuat e-commerce menjadi suatu bisnis yang menjanjikan.

2.4 Bentuk-bentuk Bisnis E-commerce  di Indonesia

Jika ditanya tentang bisnis e-commerce, mungkin kebanyakan dari kita hanya akan menjawab bahwa bisnis e-commerce adalah bisnis jual beli online. Namun lebih dari itu sebenarnya bisnis e-commerce bisa dibedakan menjadi beberapa jenis berbeda berdasarkan dari bagaimanakah layanan yang diberikan oleh e-commerce tersebut. Seperti halnya beberapa nama perusahaan e-commerce besar TokoBagus, Kaskus FJB, hingga Lazada memiliki bentuk bisnis e-commerce yang berbeda satu dengan yang lain. Secara umum bisnis e-commerce di Indonesia dapat dibedakan menjadi 5 bentuk berbeda.

1. Classifieds / Daftar Iklan Baris

Bentuk bisnis yang pertama adalah classifieds atau daftar iklan baris. Bentuk bisnis ini merupakan bentuk yang paling sederhana dari usaha e-commerce yang ada. Itu karena bentuk bisnis ini mempunyai ciri khas dimana penyedia jasa e-commerce tidak terlibat secara langsung dalam proses jual beli yang terjadi. Dalam bentuk bisnis ini, pihak perusahaan e-commerce hanya menjadi media yang mempertemukan antara penjual dan pembeli dalam satu tempat.

Ciri-ciri dari bentuk bisnis classifieds atau daftar iklan baris adalah web penyedia layanan e-commerce tersebut sama sekali tidak terlibat atau memfasilitasi secara langsung transaksi jual beli online yang berlangsung. Ciri yang kedua adalah dalam memanfaatkan layanan e-commerce tersebut, siapa saja yang ingin menjual barang yang dimilikinya bebas melakukan hal tersebut kapan dan dimana saja secara online. Ciri lain dari bentuk ini adalah pihak e-commerce mendapatkan keuntungan dari iklan premium yang terpasang pada website tersebut.

Penyedia layanan e-commerce di Indonesia yang menggunakan bentuk bisnis ini antara lain Berniaga, dan juga OLX. Hingga saat ini OLX menjadi jaringan perusahaan e-commerce yang terlama yang ada di Indonesia dan masih tetap eksis hingga saat detik ini. Selain ketiga e-commerce tersebut, Kaskus FJB (forum jual beli) pada dasarnya juga menganut bentuk bisnis ini karena selama proses transaksi pihak Kaskus sendiri tidak memberikan keharusan bagi para penjual atau pembeli menggunakan layanan transaksi apapun yang mereka sediakan. Dalam sistem pembayarannya pun, para penggiat Kaskus FJB banyak yang menggunakan metode COD atau cash on delivery. Secara umum tipe e-commerce ini lebih cenderung digunakan oleh para penjual yang hendak menjual barang bekas atau yang jumlahnya terbatas.

Submit ke ribuan situs iklan baris dengan cara konvensional, yaitu dengan submit satu per satu ke ribuan situs, tentunya akan memakan waktu lama dan juga sangat melelahkan. Karena itu, Anda membutuhkan software yang bisa membantu Anda mengirimkan iklan baris Anda ke ribuan situs iklan baris dengan cara yang mudah dan cepat.

2.      Marketplace C2C (Customer to Customer)

Yang membedakan antara bentuk bisnis ini dengan bentuk classifieds adalah selain menawarkan tempat sebagai media promosi barang daganganya, pihak e-commerce juga memberikan layanan metode pembayaran dari transaksi online yang dilakukan. Hal tersebut juga menjadi ciri utama dari bentuk bisnis e-commerce Marketplace C2C. Pada umumnya pihak e-commerce akan memberikan layanan Escrow atau rekening pihak ketiga.

Fungsi dari Escrow tersebut adalah sebagai jembatan antara penjual, pembeli dan pihak e-commerce. Jika sudah terjadi kesepakatan pembelian, pembeli harus mentransfer dana kepada pihak escrow. Baru setelah dana dikonfirmasi masuk ke escrow, penjual bisa mengirimkan barangnya para pembeli. Dan setelah pembeli mengkonfirmasi kedatangan barang, maka pihak escrow akan memberikan uang nya ke penjual. Selain lebih aman, dengan menggunakan jasa escrow jika tiba-tiba terjadi masalah dengan barang, dana akan bisa segera dikembalikan pada pembeli. Pada situs Kaskus FJB (forum jual beli), jasa escrow lebih dikenal dengan nama Rekber atau rekening bersama.

Perusahaan e-commerce yang mengadopsi bentuk bisnis ini antara lain Tokopedia dan Lamido. Perusahaan tersebut akan mendapatkan keuntungan dari sistem iklan premium dan juga adanya komisi dari jasa escrow.

3. Shopping Mall

Bentuk bisnis e-commerce Shopping Mall, semua proses serta layanannya kurang lebih sama dengan bentuk bisnis Marketplace C2C yang membedakan antara keduannya adalah penjual yang ada pada e-commerce tersebut. Pihak yang bisa masuk menjadi penjual di e-commerce tersebut hanyalah brand-brand besar yang telah mempunyai nama di pasar lokal atau pun internasional.

Untuk masuk pun membutuhkan proses verifikasi yang tidak mudah. Dari segi keuntungan, pihak e-commerce bisa menarik komisi dari penjual yang notabenenya brand besar tersebut. Dengan begitu pendapatannya pun bisa lebih besar. Hingga saat ini, di Indonesia bentuk bisnis ini baru diterapkan oleh satu e-commerce yaitu Blibli.

4. Toko online B2C (Business to Consumer)

Pada dasarnya bentuk bisnis ini lebih berfokus pada penjualan barang atau produk milik perusahaan e-commerce itu sendiri. Sehingga semua keuntungan dari penjualan produk murni dimiliki oleh perusahaan e-commerce dan tidak dibagi dengan pihak lain.

Jenis bisnis ini merupakan salah satu bentuk yang paling berkembang di Indonesia, namun dalam pengembangan bentuk bisnis ini tentunya juga tidak mudah. Selain diperlukan modal yang sangat besar, ketersediaan pasokan barang serta sistem penjualan semuanya harus dihandle sendiri oleh pihak e-commerce.

Beberapa perusahaan e-commerce yang menerapkan bentuk bisnis ini antara lain Lazada, Bhineka, dan Berry Benka. Namun seperti halnya Lazada juga masing memiliki sistem layaknya Marketplace C2C yang dapat menerima penjual mandiri yang memiliki barang yang cukup banyak dan terjamin ketersediannya.

5. Sosial Media Shop

Bentuk bisnis e-commerce yang terakhir adalah sosial media shop. Bentuk ini bisa dikatakan muncul seiring perkembangan sosial media yang makin menanjak. Potensi dari sosial media tersebut kini dimanfaatkan langsung oleh perusahaan e-commerce dengan membangun bisnis yang berbasis pada sosial media tersebut.

Saat ini sosial media yang menjadi lahan utama perkembangan bentuk bisnis ini masih didominasi oleh Facebook, Line namun dengan pergesaran tren sosial media yang terjadi akhir-akhir ini juga telah membuka pesaing baru seperti Instagram dan juga Twitter.

2.5 Budaya Konsumtif Masyarakat

Era globalisasi dicirikan dengan perdagangan bebas atau pasar bebas, dan kemajuan teknologi telah menghasilkan agama baru yang disebut sebagai materialime yang menjurus pada pola hidup konsumtif (Herlianto, 1997: 174). Perilaku konsumtif erat kaitannya dengan budaya barat, yaitu peradapan yang menyajikan berbagai bentuk kesenangan (entertaiment) dan kenikmatan (hedonisme). Membanjirnya barang-barang di pasaran mempengaruhi sikap seseorang terhadap pembelian dan pemakian barang. Seringkali juga dipengaruhi oleh sugesti dari iklan yang cenderung kurang realistis.

Pembelian suatu produk bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan, melainkan karena keinginan , dimana use value (nilai guna) berubah menjadi exchange value (nilai tukar). Orang lebih mau membeli televisi dari pada buku, atau membeli produk yang tidak terlalu bermanfaat karena adanya potongan harga. Mereka lebih memilih membeli berbagai peralatan rumah tangga dari pada mendapatkan pengetahuan pendidikan. Beberapa orang dengan kelas ekonomi yang cukup berada, terutama dikota besar, mall sudah menjadi rumah kedua. Mereka membeli produk tidak lagi karena memang membutuhkan, tetapi dilakukan dengan alasan-alasan lain seperti mengikuti mode yang sedang beredar, hanya ingin mencoba produk baru, ingin memperoleh pengakuan sosial dll.

Perilaku manusia merupakan hasil dari pada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap setimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini bersifat pasif (tanpa tindakan: berpikir, berpendapat, atau bersikap) maupun aktid (melakukan tindakan) Solomon (2002:6).

Menurut Weber konsumsi adalah jumlah pengeluaran suatu rumah tangga untuk membeli berbagai jenis barang dan jasa untk tingkat pendapatan dalam jangka waktu tertentu. Konsumsi adalah penggunaaan barang-barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang bisa berhubungan dengan masalah selera, identitas atau gaya hidup, sebab hal ini akan meningkatkan prestise dan solidaritas dalam kelomok (Damsar, 2003:120)

Kata “konsumtif” (sebagai kata sifat; lihat akhiran –if) sering diartikan dengan “konsumerisme”. Padahal kata yang terakhir ini mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumen. Sedangkan konsumtif lebih khusus menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal.

Memang belum ada definisi yang memuaskan tentang kata konsumtif ini. Namun konsumtif biasanya digunakan untuk menujuk pada perilaku konsumen yang memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai produksinya untuk barang dan jasa yang bukan menjadi kebutuhan pokok (Tambunan, 2007).

Perilaku konsumtif sendiri didefinisikan oleh Solomon (2002:453) sebagai sebuah studi tentang proses yang menghubungkan individu atau grup yang terpilih terhadap pembelian, penggunaan produk, ide, atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan hasrat, sedangkan Schiffman dan kanuk (2000:256) adalah suatu tingkah laku dari konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi dan menentukan produk jasa.

Konsumtif sebagai sebuah sikap dan perilaku sulit dijelaskan ketika dihadapkan dengan sebuah ke”lazim”an. Sementara produk asingpun sulit diterjemahkan ketika sistem investasi mengalami perubahan yang luar biasa. Dimana, bangunan-bangunan industri tidak lagi terpusat di negara-negara produsen, tetapi tersebar di negara-negara konsumen sendiri. Hal ini membuat orang sulit untuk membedakan mana yang konsumtif mana yang tidak.

Boros diartikan sebagai volume konsumsi yang melebihi kebutuhan yang sebenarnya. Katakanlah tidak adanya keseimbangan antara produksi dan konsumsi. Kalau kita sadar, mentalitas hidup boros ini didorong oleh apa yang namanyaarus konsumerisme. Dunia tempat kita berpijak sekarang didominasi dorongan untuk mengkonsumsi. Konsumsi adalah sebuah kebutuhan manusia demi kelangsungan hidupnya. Tapi, pada zaman ini mengkonsumsi menjadi kebutuhan yang menggila. Orang merasa belum hidup kalau belum mengkonsumsi. Sekarang di dunia ini menawarkan beragam kebutuhan baru agar orang mengkonsumsinya. Konsumerisme atau perilaku konsumtif sebagai anak kandung kapitalisme telah merasuk sampai ke jantung masyarakat. Pada kondisi ini, orang mengkonsumsi barang bukan lantaran butuh secara fungsional, melaikan karena teuntunan prestige (gengsi), status maupun sekadar gaya hidup (life style) (JJ Amstrong Sembiring, 2007).

2.6 Perubahan Perilaku Konsumtif

Sebuah gejala yang tengah mewabah dalam situs kultural mayarakat dewasa ini adalah fenomena kelahiran tren-tren baru. Masyarakat terobsesi untukmenghadirkan tren-tren revolusioner dalam menanggapi gejolak perubahan jaman. Fenomena ini hakikatnya merupakan implementasi dari dinamika kebudayaan bersifat terbuka untuk mengalami perubahan.

Sejak beberapa tahun ini, persoalan hedonisme sempat menjadi pembicaraan yang hangat di kalangan masyarakat dimana hedonisme ini muncul akibat arus globalisasi. Hedonis merupakan suatu nilai hidup dimana nilai ini lebih mementingkan kesenangan dan diduga sebagai penyebab perilaku konsumtif yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat.

Menurut Selo Soemardjan mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat temasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok di dalam masyarakat (dalam Soekanto, 2001:305).

Perilaku konsumtif sendiri didefinisikan oleh solomon (2002:6) sebagai sebuah studi tentang proses yang menghubungkan individu atau grup yang terpilih terhadap pembelian, penggunaan produk, ide, atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan hasrat. Sedngkan Schiffman dan Kanuk (2000:345) adalah suatu tingkah laku dari konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan menentukan produk,jasa dan ide.

Perilaku konsumtif menurut Engel (1990:3) adalah sebagai tindakan manusia secara lansung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang dan jasa ekonomis termsuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan memntukan tindakan-tindakan tersebut. Perilaku konsumtif dapat dilakukan seseorang atau kelompok konsumen dan masing-msing perilaku memiliki keunikan tersendiri. Perilaku konsumen individual tidak terlepas dari pengaruh konsumer yang berkelompok atau industrial consumer (Loudon dan Bitta, 1993:6).

2.7 Fenomena Bisnis Online

Perkembangan penggunaan internet di Indonesia menjadi tantangan bagi pemasar untuk memanfaatkan internet sebagai sarana dalam implementasi strategi pemasaran. Survei Nielsen (2011) menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, secara umum konsumsi Internet di Indonesia meningkat dari 8% menjadi 21% dengan frekuensi penggunaan yang mengalami peningkatan yang signifikan. Pengguna internet yang menggunakan internet setiap hari meningkat paling signifikan, yaitu dari hanya 3% menjadi 25%. Hasil survei tersebut juga menunjukkan bahwa 80% di antara pengguna internet tersebut memprediksi akan membeli sesuatu secara online dalam 6 bulan mendatang. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa dewasa ini penggunaan internet untuk melakukan transaksi online banyak dipraktikkan oleh perusahaan.

Nielsen (2011) menyebutkan bahwa meningkatnya jumlah pengguna internet yang berbelanja online tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa konsumen semakin memiliki pengetahuan, lebih banyak akses untuk mendapatkan informasi dan menginginkan penawaran yang sesuai dengan kebutuhan. Dari sisi nilai, konsumen bersedia membayar lebih untuk bahan berkualitas tinggi. Konsumen juga semakin menuntut kualitas seiring dengan meningkatnya daya beli dan kesibukan masyarakat. Selain itu, pada Nielsen Newsletter edisi Juli 2010 (dalam “Belanja Lebih Praktis di Internet”, Chip.co.id., 30 Desember 2010), survei juga menyebutkan bahwa penyebab meningkatnya tren konsumen untuk berbelanja online adalah kenyamanan dan ketidakpastian.

Tren tersebut disambut oleh pemasar dengan menerapkan strategi pemasaran secara online terutama dalam hal promosi dalam rangka mengomunikasikan produk/layanan, harga, dan lokasi di mana pembeli bisa mendapatkan produk/layanan yang ditawarkan. Strategi pemasaran yang memadukan marketing mix tersebut banyak ditampilkan oleh perusahaan melalui internet. Selain melakukan promosi, perusahaan juga melakukan aktivitas penjualan secara online. Hal ini terlihat dari banyaknya toko online (online shop) yang menawarkan beragam produk melalui website, blog, maupun jejaring sosial.

Online shop merupakan sebuah toko yang menjual berbagai macam produk melalui internet dengan menggunakan sebuah website. Website tersebut merupakan website interaktif yang dapat menangani permintaan informasi dari seorang konsumen akan sebuah produk sekaligus menangani pesanan (Salim, 2009, p.14; Salim, 2010, p.22). Untuk urusan mencari uang atau berbelanja, online shop menawarkan beberapa keuntungan yang lebih menarik dibanding cara berdagang konvensional. Dengan modal relatif lebih sedikit, seseorang dapat menawarkan produk sampai ke pembeli yang berada di belahan dunia lain, karena online shop tidak membutuhkan tempat secara fisik dan tidak membutuhkan banyak karyawan. Sedangkan untuk pebisnis yang telah jalan, fitur online shop membuat market yang ada lebih berkembang. Namun demikian, penjualan melalui online shop juga memiliki kelemahan, karena pembeli tidak berinteraksi secara fisik dengan penjual dan biaya yang dibebankan kepada konsumen lebih tinggi, karena selain harga produk, pembeli juga dibebani biaya pengiriman. Oleh karena itu, konsumen biasanya mengakses beberapa online shop dalam waktu bersamaan untuk membandingkan harga produk yang sama antara online shop yang satu dengan online shop yang lain (Wicaksono, 2010, p.93).

Nielsen Newsletter edisi Juli 2010 (dalam “Belanja Lebih Praktis di Internet”, Chip.co.id., 30 Desember 2010) menyebutkan bahwa di Asia Pasifik, produk yang paling banyak dibeli secara online adalah buku, yakni sebesar 52%; diikuti oleh produk pakaian, aksesoris, dan sepatu sebanyak 44%; tiket pesawat terbang sebesar 35%; serta perlengkapan elektronik sebesar 32%. Bagi konsumen di Indonesia, produk dan layanan yang paling banyak dibeli melalui website adalah perangkat komputer (27%) dan software (16%). Para pembeli, pria utamanya lebih suka berbelanja buku (34%), perangkat komputer (33%), serta perangkat elektronik (32%). Sementara, wanita lebih suka membeli pakaian, aksesoris, sepatu, dan buku (43%) serta membeli tiket pesawat (37%) dari Internet.

Bersambung ke BAB III


  • Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gama Press, 1986) h. 21
  • John, Lechte, 50 Filusuf Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hal. 23
  • John Lechte, 50 Filusuf Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hal. 27
  • http://www.patartambunan.com/pengertian-e-commerce-manfaat-serta-keuntungan-e-commerce/  diakses pada tanggal 18 Mei 2015
  • http://research.amikom.ac.id/index.php/SSI/article/viewFile/9170/7104 diakses pada tanggal 20 Mei 2015
  • https://www.maxmanroe.com/pasangiklan-co-id-tempat-pasang-iklan-baris-gratis-dan-premium-di-internet.html  diakses pada tanggal 20 Mei 2015
  • https://www.maxmanroe.com/mengenal-5-bentuk-bisnis-ecommerce-yang-ada-di-indonesia.html diakses pada tanggal 20 Mei 2015
  • http://log.viva.co.id/frame/read/a diakses pada tanggal 20 Mei 2015
Lihat Selengkapnya

Paper Teori Jean Baudrillard BUDAYA MASYARAKAT E-COMMERCE

Contoh paper teori Jean Baudrillard Judul:

PERUBAHAN SOSIAL TERHADAP BUDAYA MASYARAKAT E-COMMERCE

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penulisan

Pemasaran di internet sama dengan direct marketing, dimana konsumen berhubungan langsung dengan penjual, walaupun penjualnya berada di luar negeri. “Pengguna internet di seluruh dunia berkisar 200 juta, 67 juta diantaranya berada di Amerika Serikat, internet di Indonesia berlipat dua kali setiap 100 hari” (Rhenald, 2000). Penggunaan internet telah mengalami perkembangan yang luar biasa di bidang bisnis terutama pada perusahaan skala besar. Sejak ditemukannya teknologi internet tersebut pada tahun 1990-an penggunaannya meluas karena dipandang memberikan manfaat yang sangat besar bagi kelancaran proses kegiatan bisnis atau usaha. Motivasi dan manfaat e-commerce dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan serta meningkatkan daya saing perusahaan dalam hal ini menjadi sudut pandang dari penulis yang dijadikan sebagai obyek dalam penelitian ini. Melihat kenyataan tersebut, maka penerapan teknologi e-commerce merupakan salah satu faktor yang penting untuk menunjang keberhasilan suatu produk dari sebuah perusahaan. Untuk mempercepat dan meningkatkan penjualan cepat maka dengan melihat perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat tersebut kita dapat memanfaatkan suatu layanan secara on-line yang berupa e-commerce. Selama ini, sistem penjualan dari pelanggan yang digunakan oleh perusahaan hanya bersifat secara tertulis dan manual, yang tidak jarang cenderung menyesatkan. Dengan adanya layanan jasa berupa e-commerce yang dapat secara cepat dapat dinikmati oleh pelanggan maupun perusahaan sendiri maka segala layanan yang diinginkan oleh para pelanggan dapat segera ditindak lanjuti dengan secepat mungkin, sehingga perusahaan tersebut akan mampu memberikan pelayanan yang terbaik dan tercepat bagi para pelanggan.

Dengan pemanfaatan dan penggunaan teknologi internet diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar terhadap dunia bisnis yang kompetitif tersebut. Perusahaan yang mampu bersaing dalam kompetisi tersebut adalah perusahaan yang mampu mengimplementasikan teknologi dan informasi ke dalam perusahaannya. Salah satu jenis implementasi teknologi dalam hal meningkatkan persaingan bisnis dan penjualan produk-produk adalah dengan menggunakan electronic commerce (e-commerce) untuk memasarkan berbagai macam produk atau jasa, baik dalam bentuk fisik maupun digital. Dalam penggunaan teknologi tersebut, berbagai pihak yang terkait dengan perusahaan seperti investor, konsumen, pemerintah akan ikut berperan. Dengan semakin matangnya teknologi internet dan web, teknologi-teknologi ini meningkatkan kemampuan per usahaan yang canggih dalam hal komunikasi bisnis dan dalam hal kemampuannya berbagi informasi, selain itu berbagi sumber daya lain yang bernilai. Ide dasar serta manfaat e-commerce dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan serta meningkatkan daya saing perusahaan dalam hal ini menjadi sudut pandang dari penulis yang dijadikan sebagai obyek dalam tulisan ini. Melihat kenyataan tersebut, maka penerapan teknologi e-commerce merupakan salah satu faktor yang penting untuk menunjang keberhasilan suatu produk dari sebuah perusahaan. Untuk mempercepat dan meningkatkan penjualan cepat maka dengan melihatmperkembangan teknologi informasi yang sangat pesat tersebut dapat memanfaatkan suatu layanan secara on-line yang berupa e-commerce. Dengan adanya layanan electronic commerce (e-commerce) ini maka pelanggan dapat mengakses serta melakukan pesanan dari berbagai tempat. Dengan adanya era teknologi yang canggih saat ini para pelanggan yang ingin mengakses e-commerce tidak harus berada di suatu tempat, hal itu dikarenakan di kota kota besar di Indonesia telah banyak tempat tempat yang menyediakan suatu fasilitas akses internet hanya dengan menggunakan laptop/notebook ataupun dengan Personal Digital Assistant (PDA) dengan menggunakan teknologi wifi. Maka dari itu saat sekarang sangat diperlukan dan diminati perusahaan-perusahaan yang menerapkan layanan e-commerce. Penggunaan e-commerce di Indonesia masih sangat terbatas. Dari latar belakang yang ada maka penulis akan membahas bagaimana pemanfaaatan e-commerce dalam kepentingan bisnis mereka.

Saat ini dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi dan internet di Indonesia, telah memiliki dampak yang besar terhadap perubahan bisnis. Yaitu mulai dari cara beriklan, cara jual beli, cara berinteraksi antar manusia, dan sebagainya. Contoh e-commerce di Indonesia yang sudah popular dan memiliki reputasi yang baik adalah seperti www.bhineka.com, www.blibli.com, www.gramedia.com. E-commerce adalah sebuah layanan internet yang dimanfaatkan untuk jual-beli. Dengan e-commerce telah banyak merubah dalam proses jual-beli. Jika dalam suatu jual-beli penjual dan pembeli bertemu, namun jika dengan e-commerce mereka perlu bertemu, mereka berinteraksi dengan melalui internet maupun dengan komunikasi melalui telepon. Dalam proses ini kepercayaanlah yang menjadi modal utama. Karena tanpa kepercayaan kedua belah pihak, maka proses jual-beli e-commerce bisa terjadi dan terlaksana. Namun dengan perkembangan yang semakin pesat, maka banyak toko online atau e-commerce bermunculan. Baik mereka dengan memanfaatkan blog, social media, website. Dengan pesatnya ini membuat semakin mudahnya dalam jual beli.

Dalam hal ini kehadiran e-commerce itu sendiri telah menggeser budaya masayarakat dalam bertransaksi. Dimana perubahan terjadi ketika yang biasanya masyarakat membutuhkan waktu dan mengharuskan untuk bertransaksi secara konvensional, namun kehadiran e-commerce itu sendiri memberikan ruang pada masyarakat sehingga mampu berbelanja secara online. Dan dalam hal ini tentunya telah mengubah pola komunikasi masyarakat dalam melakukan transaksi. Tidak lagi harus pada komunikasi secara face to face (tatap muka) dalam melakukan transaksi namun bisa teraktualisasikan hanya dengan cara komunikasi dalam virtual.

Pertumbuhan pesat pangsa pasar e-commerce di Indonesia memang sudah tidak bisa diragukan lagi. Dengan jumlah pengguna internet yang mencapai angka 82 juta orang atau sekitar 30% dari total penduduk di Indonesia, pasar e-commerce menjadi tambang emas yang sangat menggoda bagi sebagian orang yang bisa melihat potensi ke depannya.

Konteks perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat mikro dalam kehadiran e-commerce ini sendiri terlihat pada pelajar mulai dari sekolah dasar sampai pada tahapan sekolah menengah sudah dapat mengakses internet dan mengenal sistem belanja online. Berdasarkan hasil wawanara dengan salah satun guru di Sekolah dasar yang dilakukan pada bulan mei 2015 aktifitas yang terjadi di salah satu SDIT Purwakarta para siswa SD kelas VI pun membeli pakaian kebaya menjelang perpisahan kelas melalui toko online dan mengatasnamakan alamat sekolahnya.

Lalu di tahapan meso, e-commerce sendiri sudah menjadi budaya baru terlebih pada lingkungan mahasiswa juga ibu rumah tangga. Aktifitas baru dengan memanfaatkan fasilitas e-commerce baik itu transaksi jual beli ataupun menjadi salah satu agen bisnis online tentunya ini menjadi ruang baru bagi semua kalangan untuk terlibat dalam sistem e-commerce. Terlihat di beberapa kampus dan sekolah banyak sekali agen bisnis pada saat ini melakukan transaksi ataupun mencari peluang usaha dengan bergabung pada bisnis online ataupun belanja mencari pakaian, buku, akseroris, hingga rumah di sosial media.

Selanjutnya, pada tahapan makro, lebih besar lagi berdasarkan data yang didapat Pertumbuhan ini didukung dengan data dari Menkominfo yang menyebutkan bahwa nilai transaksi e-commerce pada tahun 2013 mencapai angka Rp130 triliun.

Ini merupakan angka yang sangat fantastis mengingat bahwa hanya sekitar 7% dari pengguna internet di Indonesia yang pernah belanja secara online, ini berdasarkan data dari McKinsey. Dibandingkan dengan China yang sudah mencapai 30%, Indonesia memang masih tertinggal jauh, tapi perlu anda ingat bahwa jumlah ini akan terus naik seiring dengan bertumbuhnya penggunaan smartphone, penetrasi internet di Indonesia, penggunaan kartu debit dan kredit, dan tingkat kepercayaan konsumen untuk berbelanja secara online. Jika kita melihat Indonesia sebagai Negara kepulauan yang sangat luas, e-commerce adalah pasar yang berpotensi tumbuh sangat besar di Indonesia.

Pada tahun 2012, suatu perusahaan e-commerce di Indonesia mencatat bahwa 41% penjualan mereka berasal dari Jakarta, tapi enam bulan selanjutnya angka ini turun menjadi 22%. Ini menunjukkan bahwa tidak hanya konsumen di Jakarta saja yang rutin berbelanja online, konsumen di luar Jakarta pun tidak ingin ketinggalan mengikuti perkembangan zaman dengan menunjukkan kontribusi mereka pada pasar e-commerce di Indonesia.

Data dari lembaga riset ICD memprediksi bahwa pasar e-commerce di Indonesia akan tumbuh 42% dari tahun 2012-2015. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan negara lain seperti Malaysia (14%), Thailand (22%), dan Filipina (28%). Tentulah nilai sebesar ini sangat menggoda bagi sebagian investor, baik dalam maupun luar negeri. Beberapa VC (Venture Capital) besar seperti Rocket Internet, CyberAgent, East Ventures, dan IdeoSource bahkan sudah menanamkan modal ke perusahaan e-commerce yang berbasis di Indonesia. Sebut saja beberapa diantaranya adalah raksasa Lazada dan Zalora, Berrybenka, Tokopedia, Bilna, Saqina, VIP Plaza, Ralali dan masih banyak lagi. Mereka adalah sebagian contoh dari perusahaan e-commerce yang sukses dan berhasil dalam memanfaatkan peluang pasar e-commerce di Indonesia yang sedang naik daun.

Dari latar belakang diatas, terlihat signifikansi pertumbunhan pangsa pasar e-commerce di Indonesia. Dalam penulisan makalah ini saya akan lebih berfokus pada kajian perubahan sosial masyarakat terkait kehadiran e-commerce itu sendiri.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dalam makalah ini untuk mengetahui perubahan sosial pada masyarakat dengan adanya e-commerce membawa pada pergeseran mewabahnya budaya bisnis online di masyarakat. Dengan kehadiran e-commerce perubahan sosial pada masyarakat yang semakin konsumtif.

1.3 Fokus Masalah

Berdasarkan pada tujuan penulisan, maka fokus masalah saya adalah:

1. Bagaimana perubahan sosial pada budaya e-commerce?
2. Bagaimana dampak dari budaya e-commerce ?

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Manfaat Akademis dalam penelitian ini adalah:

1. Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan disiplin ilmu komunikasi, terlebih mengenai bagaimana dampak perkemangan tekhnologi terhadap perilaku konsumtif dan gaya hidup masyarakat.
2. Dapat memberikan wawasan kepada pembaca tentang perilaku konsumtif dan gaya hidup masyarakat modern.
3. Memberikan wawasan kepada masyarakat untuk dapat memaknai budaya konsumerisme.
4. Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi sehingga dapat dibaca oleh semua pihak yang berkepentingan dengan kajian ini.

1.4.2 Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai bahan perbandingan studi mendatang.
2. Memberikan informasi pada pemerintah dan masyarakat setempat untuk mengetahui bagaimana perilaku konsumtif masyarakat dalam berbelanja melalui media online internet.
3. Memberikan ruang baru pada masyarakat untuk memanfaatkan kehadiran e-commerce dengan budaya bisnis online atau e-bussines.

Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis – ISSN: 2085-1375 Edisi Ke-VI, November 2011 dikutip pada tanggal 01 Juni 2015
Jurnal Ilmiah Orasi Bisnis – ISSN: 2085-1375 Edisi Ke-VI, November 2011 dikutip pada tanggal 30 Mei 2015
http://www.acommerce.co.id/tag/ecommerce/ diakses pada tanggal 22 Mei 2015
http://startupbisnis.com/data-statistik-mengenai-pertumbuhan-pangsa-pasar-e-commerce-di-indonesia-saat-ini/ diakses pada tanggal 22 Mei 2015

Bersambung ke BAB II
Lihat Selengkapnya
 

Most Reading

Pengikut

Katagori

Arsip Blog